Thursday, October 24, 2019

We Have Always Lived in The Castle by Shirley Jackson - Ulasan dan Review

"Namaku Marry Katherine Blackwood. Umurku delapan belas tahun, dan aku tinggal bersama saudariku Constance. Aku suka Kakakku Constance, dan Richard Plantagenet, dan Amanita phalloides - jamur topi kematian. Seluruh anggota keluargaku yang lain sudah mati."
Kutipan di atas merupakan paragraf pertama dalam novel We Have Always Lived in The Castle yang narasinya dituturkan oleh Mary Katherine Blackwood atau Merricat secara flashback. Kisahnya sendiri berkisar di sekitaran rumah Blackwood, enam tahun setelah insiden yang mematikan terjadi dalam keluarganya. Hampir seluruh anggota keluarga Blackwood yang sedang makan malam itu mati karena racun
arsenik dalam gula yang biasa ditaburkan di atas buah, namun  kejadian tragis tersebut menyisakan 3 anggota keluarga yang selamat yaitu, Marry Katherine sendiri karena ia sedang dalam masa hukuman tidak boleh makan malam, Constance yang tidak memakai gula dalam buahnya dan Paman Julian yang luckily selamat setelah memakan racun tersebut. Namun ia tidak seutuhnya selamat,  racun tersebut membuat ia traumatik dan kakinya lumpuh.

Kejadian tersebut betul-betul mencoreng nama keluarga Blackwood. Constance yang memasak makanan tersebut lolos dari tuduhan pengadilan. Namun tidak bagi masyarakat desa sekitar,  hingga saat ini mereka tetap menuduh Constance sebagai pembunuh, membuat Constance tidak pernah keluar jauh dari rumah. 

Memang sudah dari zaman dahulu kala, mungkin semenjak adanya keluarga Blackwood di desa mereka, hampir semua penduduk desa tidak pernah menyukai satu orang  pun anggota keluarga Blackwood yang sangat kaya raya  itu. Mengolok-ngolok dan mem-bully mereka merupakan sudah tradisi warga sekitar hingga itu pun terjadi pada Merricat. Setiap hari selasa, ia harus pergi ke kota untuk membeli keperluan dapur dan meminjam buku ke perpustakaan. Namun jalan yang sangat panjang ia lalui dari rumah hingga pusat kota. Mengapa dikatakan demikian panjangnya jalan tersebut karena setiap jalan yang ia lalui, ia selalu mendapatkan cibiran-cibiran dari warga sekitar. Dia seakan diintimidasi, ia tidak melawan, namun amarahnya ia pendam, yang ia bisa lakukan hanyalah melindungi rumah dengan penangkal-penagkal magis, hingga tak jarang anggota keluarga Blackwood dianggap penyihir oleh warga. Karena kecintaanya pada Constance, ia rela menjalani setiap hari selalsa pergi ke desa, karena ia tahu bahwa Constance tidak akan sanggup melaluinya. Constance menurutku seperti pembantu di rumah itu, keseharianya tentu saja di dapur, memasak dan bersih-bersih. Jelas sekali harapan-harapanya ia ingin ke luar jauh dari rumah itu, bahkan keluar dari Amerika. Seperti jadi tradisi, anggota Keluarga Blackwood  harus selalu tinggal di rumahnya.

Apa yang dialami mereka merupakan social-bullying dari warga desa yang sepertinya pemikiranya masih konvensial. Warga yang selalu terpengaruh gossip dan seringkali melebih-lebihkanya. Perlakuan warga desa terhadap mereka membuat mereka mengalami fobia sosial atau agrofobia. Sekedar catatan, Agrofobia adalah jenis fobia dengan ketakutan dasar yang berasal dari perasaan terjebak di tempat umum, saat seseorang akan sulit untuk dapat melarikan diri, dan rasa takut tidak akan tersedianya pertolongan apabila seseorang mengalami serangan panik. Social-bullying bisa saja berdampak lebih mengerikan terhadap korban, namun ketika Constance dan Merricat tetap bersama, mereka tidak butuh orang lain. 


Sungguh saya kagum dengan Shirley Jackson, ia sangat apik menampilkan narator yang sungguh menurutku tidak bisa dipercaya. Merricat sama sekali bukanlah anak normal usia delapan belas tahun, melainkan seorang anak yang tampak tidak berdosa dan mengalami pertumbuhan yang terhambat, mungkin karena latar belakang keluarga. Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, mengapa ia sampai dihukum tidak diperbolehkan ikut makan malam pada malam naas itu? jawabanya memang tidak disebutkan di buku, karena dalam narasinya ia banyak menutup-nutupi informasi. 

Novel ber-genre horror ini sama sekali tidak ada hantunya, mungkin dalam pikiran orang sakit jiwa, hantu bisa menjadi apa saja. Tidak menutup kemungkinan, warga masyarakat pembuli tersebut merupakan hantu bagi Merricat. 
Majalah TIME menyebutkan novel We Have Always Lived in the Castle ini salah satu dari 10 buku terbaik tahun 1962. Saya pikir,  Novel ini lebih bagus dari The Haunting of Hillhouse, untuk itu saya kasih bintang empat!!

Rating Ruang Buku Megga
✭✭✭✭ (4/5)

Judul Buku:  We Have Always Lived in The Castle
Penulis : Shirley Jackson
Edisi : Paperback Softcover 20,5 cm
Tahun Terbit: 2018, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman : 272
Penerbit : Qanita, Mizan Group
Penerjemah : Prisca Primasari




No comments:

Post a Comment

Most Viewed